Gowa, MakassarGlobal.com– Tumbuhnya dunia digital Indonesia tidak semua membawa angin segar. Terkadang, banyak para penggunanya diduga mencari celah untuk meraup keuntungan dengan menggunakan berbagai cara. Salah satunya, membuat media online dan menyebarkan informasi berbau provokasi, mengintimidasi narasumber, kabar bohong, hingga membuat gerah berbagai kalangan, Jumat (5/4/2024).
Menanggapi hal itu, Maulana Ramli Idris, selaku jurnalis muda sekaligus pendiri Media Cetak & Online Makassar Global, memberikan tanggapan tentang maraknya media online abal-abal menjamur di berbagai wilayah di Indonesia.
“Media abal-abal kian menjamur itu tentunya membuat banyak kalangan merasa resah, termasuk kita sebagai jurnalis. Saya sering bertanya pada diri sendiri, kenapa kadang ada penulisan sebuah berita, isi beritanya tersebut tidak memenuhi unsur 5W 1H dalam etik jurnalistik, cenderung amburadul,” kata Maulana Ramli.
Selain itu, “Salah satu kategori media abal-abal tidak berbadan hukum perusahaan pers, yaitu badan hukum mereka menumpang, alamat redaksi tidak jelas, tidak mencantumkan nama penanggung jawab di boks redaksi,” ucap Direktur Utama PT. GMGI.
Lanjutnya, “Media seperti ini, kadang cenderung melanggar kode etik, penggunaan bahasanya tidak memenuhi standar baku, sering provokatif,” ungkap pendiri Media bernama belakang Ramli Idris.
Menurut Maulana, “Jurnalis itu poin utamanya ketika memberitakan harus wajib konfirmasi kepada pihak bertupoksi, tidak boleh sampai tidak melakukan konfirmasi kedua belah pihak ketika berita itu sensitif ataupun berita kontrol. Ingat, media adalah dua sisi atau dua penjuru, akurasi data, attitude penulisan berita paling diutamakan,” terangnya.
Tentang Jurnalisme Independen & Jurnalisme Partisan.
JURNALISME independen adalah kegiatan jurnalisme yang dalam proses peliputan serta penulisan beritanya tidak melakukan keberpihakan kepada kelompok atau golongan tertentu. Pemberitaan media cenderung cover both side (dua sisi), mengakomodir pernyataan kedua kelompok berbeda. Sehingga masyarakat mendapat informasi benar, tidak diarahkan untuk membentuk sentimen tertentu.
Jurnalisme partisan, sebaliknya, dalam praktik mengedepankan kepentingan kelompok dibelanya, tanpa dilandasi konsep kerja jurnalistik berdasarkan fakta dan makna. Dalam jurnalisme partisan, sedikit kesalahan kelompok yang tidak sepaham akan diberitakan dengan bombastis. Sedangkan kesalahan besar pada kelompoknya akan ditutup-tutupi. Sehingga muncul sentimen tertentu dan bisa memicu konflik.
Pendiri Makassar Global menambahkan, bahwa media dipandang sebagai instrumen ideologi, melalui mana satu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain.
“Media bukanlah ranah yang netral di mana berbagai kepentingan dan pemaknaan dari berbagai kelompok akan mendapat perlakuan yang seimbang. Media justru bisa menjadi subjek yang mengkonstruksi realitas berdasarkan penafsiran dan definisinya sendiri untuk disebarkan kepada khalayak. Media berperan dalam mendefinisikan realitas. Kelompok dan ideologi dominanlah yang biasanya lebih berperan dalam hal ini,” papar Maulana Ramli saat diskusi ringan di kantor redaksi GMGI GROUP. (B11/Red)