MakassarGlobal.com– Di Indonesia, pada umumnya masjid boleh dikatakan adalah salah satu pintu surga. Siapa yang membantu membangun, memelihara, memakmurkan masjid, maka surga jaminan baginya. Itu janji Tuhan kita.
Masjid bukan hanya tempat beribadah khusus, seperti solat, membayar zakat dan sebagainya. Masjid juga menjadi tempat berbagai kegiatan umat. Termasuk mandi dan kegiatan kebersihan lainnya.
Demikian pula dilihat dari aspek lain. Masjid bisa menjadi pusat pendidikan, baik pendidikan agama maupun pendidikan lainnya. Dalam masjid boleh membicarakan atau mendiskusikan berbagai hal terkait kemaslahatan umat.
Termasuk pula membicarakan masalah politik. Tidak ada larangan membicarakan politik yang murni dalam masjid. Ketika ada orang yang melarang membicarakan politik dalam masjid, itu sebenarnya dia telah bermain politik untuk kepentingan sesaat.
Sebagai sebuah pintu surga, tentu masjid harusnya terbuka. Dua puluh empat jam. Sebaiknya pintu masjid jangan ditutup. Agar orang bisa memanfaatkan berbagai fungsi masjid, tanpa memandang latar belakangnya.
Jika pintu masjid tertutup atau sengaja dikunci, tentunya hal ini akan mengurangi fungsinya. Orang tidak bisa atau kesulitan memanfaatkannya termasuk untuk kepentingan yang sifatnya personal. Menutup masjid boleh jadi sama artinya menutup atau menghalangi pintu surga.
Beberapa pengurus masjid sengaja menutup pintu masjid. Hanya dibuka saat salat saja. Tentu pengurus punya argumentasi sehingga mereka menutup masjid.
Alasan utama pengurus menutup masjid adalah karena terkait dengan keamanan dan kebersihan. Juga upaya menghemat pengeluaran. Tentu itu ada benarnya.
Sementara ada juga pengurus masjid yang membuka pintu masjid sepanjang hari. Tidak takut ada masalah keamanan atau kebersihan. Mereka juga tidak khawatir atas berkurangnya isi kas masjid. Atau membengkaknya pengeluaran.
Pengurus masjid seperti ini memandang bahwa masjid harus dibuka agar dimanfaatkan orang lain untuk berbagai hal. Tentu mereka mencari berkah dan pahala atas kunjungan tersebut.
Saya sendiri pernah bertahun-tahun menjadi pengurus inti beberapa masjid. Baik masjid besar maupun masjid kecil. Sehingga sedikit-banyaknya, tahu persoalan yang terjadi dalam proses pengurusan.
Tadi subuh saya sengaja shalat subuh ke masjid yang agak jauh dari rumah ibu mertuaku. Mencari masjid secara acak. Akhirnya karena waktu subuh sudah hampir iqamah, saya singgah di masjid pertama yang saya temui.
Namanya Baiturrahman, Dusun Lakkading Desa Limbua Kecamatan Sendana Kabupaten Majene. Jalan poros nasional Makassar – Mamuju. Sekitar 335 km dari Kota Makassar.
Saya perhatikan masjid ini cukup besar dan terurus. Bersih dan rapi. Pencahayaannya bagus dan jamaah subuh cukup ramai. Berada di tengah-tengah desa.
Sama dengan beberapa masjid lainnya yang saya datangi, masjid ini boleh dikatakan ramah musafir. Pengurus membuat toilet dua kamar di bagian depan samping.
Untuk ukuran Indonesia, kedua toilet ini cukup baik. Ada ventilasi, air lancar, pembuangan limbah juga lancar atau lantainya tidak tergenang.
Pintunya tidak dikunci alias terbuka. Jadi siapa saja bisa singgah buang hajat, meski dia tidak bermaksud shalat. Parkirnya pun luas. Ada pula dua gazebo terbuka di bagian depan.
Gazebo ini bisa tempat istirahat atau tiduran bagi musafir yang merasa capek. Atau mau istirahat sejenak. Semuanya disiapkan pengurus secara gratis.
Selain ini, saya juga mendapati masjid seperti ini. Baik di wilayah Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Barat. Bagi musafir, masjid adalah tempat yang cukup dinantikan. Karena manfaatnya sangat terasa.
Pengurus yang membuka pintu masjid adalah pengurus yang memandang fungsi masjid secara holistik. Urusan keamanan, kebersihan atau pengeluaran lainnya, bukan masalah bagi mereka. (*)
Penulis: Haidir Fitra Siagian
(Dosen UIN Alauddin Makassar melaporkan dari Sendana Majene, Sulawesi Barat).