Makassarglobal.com – Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) selalu menginformasikan bahwa jangan ada pihak-pihak, baik dari pemerintah, lembaga, maupun instansi, yang mengintervensi atau mengintimidasi wartawan dalam menjalankan tugasnya, khususnya yang tergabung dalam organisasi pers AKPERSI. Profesi wartawan dalam melaksanakan tugasnya jelas dilindungi oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan dapat dipidanakan dalam Pasal 18 Ayat 1, yang berbunyi:
“Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah).”
Pada hari Kamis, 20 Februari 2025, Ketua DPD AKPERSI Provinsi Sulawesi Utara melakukan liputan atas laporan warga terkait polemik perselisihan antara pedagang pasar dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kota Bitung mengenai siapa yang berhak mengatur kegiatan pasar takjil. Rianto Pakaya (Hi Tito) dari APPSI mengklaim telah mendapat izin dari lurah, dinas terkait, dan Polres Bitung atas perintah Wali Kota Bitung. Namun, para pedagang berpegang pada Perda yang menyatakan bahwa pengelolaan pasar menjadi wewenang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dalam hal ini Perumda Pasar.
Yang membuat Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat AKPERSI, Rino Triyono, S.Kom., S.H., C.IJ., C.BJ., C.EJ., sangat murka kepada jajaran kepolisian, khususnya Polresta Kota Bitung, adalah adanya pembiaran terhadap pemukulan Ketua DPD AKPERSI Provinsi Sulawesi Utara, Tetty Alisye Mangolo, S.Pd., C.BJ., saat mewawancarai Kasat Intelkam Polres Bitung, Kapolsek Maessa, dan beberapa pedagang pada pukul 21.05 WITA. Padahal, dalam Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, pihak kepolisian harus memberikan perlindungan hukum kepada wartawan saat melaksanakan tugasnya. Bahkan, Kasat Intelkam Polresta Kota Bitung langsung meninggalkan lokasi saat terjadi pemukulan terhadap wartawan, bukannya mengamankan atau menindak tegas oknum anggota ormas tersebut.
Pelaku pemukulan diduga bernama Irwan Amiri, yang disebut-sebut sebagai anggota Ormas Barisan Fisabilillah (Bifi) dan juga anggota APPSI Kota Bitung.
“Pak Ketum, saya melaporkan kejadian hari ini (20/02) bahwa telah terjadi intimidasi terhadap saya selaku Ketua DPD AKPERSI Provinsi Sulawesi Utara saat melakukan wawancara terkait polemik yang terjadi antara pedagang dan Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Kota Bitung. Saat saya mewawancarai Kasat Intelkam Polresta Kota Bitung, Kapolsek Maessa, dan beberapa pedagang, tiba-tiba salah satu oknum anggota ormas memukul tangan saya dan melarang saya untuk wawancara. Kejadian tersebut terjadi di depan Kasat Intelkam Polresta Kota Bitung dan Kapolsek Maessa, tetapi mereka seolah-olah melakukan pembiaran. Ketika saya menanyakan kepada mereka terkait kejadian tersebut, mereka justru bungkam dan meninggalkan saya. Saya meminta arahan dari Pak Ketum mengenai tindakan apa yang harus saya lakukan karena, jujur, saya sebagai wartawan telah mendapatkan intimidasi. Bahkan, sebagai perempuan, saya merasa telah dipermalukan oleh oknum anggota ormas tersebut,” ungkap Tetty Alisye Mangolo, S.Pd., C.BJ., selaku Ketua DPD AKPERSI Provinsi Sulawesi Utara dengan nada sedih dan ketakutan.
Mendapat laporan dari Ketua DPD AKPERSI Provinsi Sulawesi Utara tersebut, Ketua Umum AKPERSI sangat marah dan memerintahkan Bu Tetty untuk segera melaporkan kejadian itu ke Polresta Kota Bitung. Bahkan, beliau akan meneruskan kejadian tersebut ke Mabes Polri dan Kemenkumham untuk meninjau ormas yang berani mengintervensi AKPERSI. Bila perlu, keberadaan ormas yang meresahkan masyarakat harus segera dibekukan izinnya.
“Saya selaku Ketua Umum AKPERSI tidak terima jika pengurus atau anggota saya se-Indonesia mendapatkan intimidasi dan intervensi dari siapa pun, baik dari Aparat Penegak Hukum, Pemerintah, Lembaga, maupun Instansi. Apalagi dari ormas! Kalian harus tahu bahwa wartawan bekerja dilindungi oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pihak kepolisian harus segera bertindak terhadap pelaku. Tetapi jika Kapolresta Kota Bitung tidak sanggup menangani kasus ini, kami akan meneruskannya ke Kapolda Sulawesi Utara. Bahkan, saya sudah menghubungi Mabes Polri untuk menjadikan hal ini sebagai atensi. Saya juga akan bersurat ke Kementerian Hukum dan HAM untuk meninjau kembali ormas tersebut. Jika ormas ini terus meresahkan masyarakat dan berani mengintervensi wartawan, lebih baik dibekukan saja, karena kami jelas dilindungi undang-undang dalam bekerja,” tegas Rino Triyono, Ketua Umum Asosiasi Keluarga Pers Indonesia.
“Laporan sudah masuk dengan nomor: STLP/B/145/II/2025/SPKT/POLRES BITUNG/POLDA SULAWESI UTARA. Mohon untuk segera dilakukan penyidikan dan penangkapan karena hal ini merupakan salah satu langkah untuk memperbaiki citra kepolisian. Saya juga meminta Kapolda Sulawesi Utara untuk memberikan sanksi kepada Kasat Intelkam Polresta Kota Bitung dan Kapolsek Maessa karena tindakan mereka telah mencoreng institusi Polri dengan melakukan pembiaran terhadap pemukulan wartawan,” tutup Ketua Umum DPP AKPERSI.
Sampai berita ini diturunkan, Ketua Umum AKPERSI telah menghubungi Propam Mabes Polri dan mengirimkan surat kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk meninjau kembali keberadaan ormas tersebut. Bila perlu, izin organisasinya harus dibekukan.
Seluruh pengurus dan anggota AKPERSI se-Indonesia diminta untuk mengawal dan memantau kasus ini. Sampai kapan cara-cara premanisme ormas akan terus dilakukan terhadap wartawan. (*)
(Red)